Selasa, 14 Juni 2011

aliran maturidiyah

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah
Berbagai macam aliran keagamaan dalam Islam pertama kali muncul sejak terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan naiknya Ali bin Abu Thalib. Banyak pihak yang meminta supaya segera dilakukan pengusutan wafatnya Usman dan datang yang ada di belakangnya. Sebagian lainya meminta supaya segera ditegakkan khalifah Islamn yang dipimpin oleh Ali bin Abu Thalib.
Selain benih pertikaian dalam masalah politik , perbedaan pemahaman dalam soal akidah Islam juga mulai berkembang. Persoalan yang menjadi perdebatan soal penciptaan alam semesta, akal, tentang sifat dan Zat Allah, serta masalah lainnya. Misalnya dalam af’al (perbuatan) Allah. Karena Allah yang menciptakan manusia, dan pula Allah yang menciptakan manusia, dan pula Allah yang menciptakan kebaikan dan keburukan, semuanya dianggap adalah perbuatan Allah. Akibatnya ketika ada orang yang berbuat jahat, sebagian kalangan memandang bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan Allah, karena itulah timbul pemahaman yang berbeda dalam memaknai af’al Allah tersebut.
Begitu juga ketika seorang bayi yang dilahirkan dari seorang perempuan yang berzina.Dan ketika bayi itu meninggal dunia sebelum akil balig, di manakah bayi itu akan ditempatkan. Apakah dia masuk surge atau masuk neraka? dari sini juga akhirnya timbul perbedaan pemahaman keagamaan dalam bidang teologi (akidah, atau ilmu kalam). Seperti Qadariyah, Maturidiyah, Ahlus Sunnah Wal Jamaah, dan lain sebagainya. Mereka saling klaim bahwa pendapat mereka yang benar dan yang lain salah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah berdirinya aliran Maturidiyah?
2. Apa saja pokok-pokok pikiran aliran Maturidiyah?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Maturidiyah
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pertengahan kedua dari abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Riwayat hidupnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikut Abu Hanifah sehingga faham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham Abu Hanifah. Sistem pemikiran aliran Maturidiyah, termasuk golongan teologi ahli sunah.
Pokok-pokok ajaran Maturidiyah:
1. Kewajiban mengetahui Tuhan
2. Kebaikan dan keburukan dapat diketahui dengan akal
3. Hikmah dan tujuan perbuatan Tuhan
Ada dua golongan di dalam aliran Maturidiyah, yaitu:
a. Golongan Samarkand
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut-pengikut Al-Maturidi sendiri golongan ini cenderung kearah paham Mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, Maturidi dan Asy’ary terdapat kesamaan pandangan.
Mengenai perbuatan-perbuatan manusia, Maturidi sependapat dengan golongan Mu’tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-pebuatanya. Apabila ditinjau dari sini, Maturidi berpaham qadariyah.
b. Golongan Bukhara
Golongan Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia merupakan pengikut Maturidi yang sangat pentinga dan penerus yang sangat baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Dari orang tuanya, Al-bazdawi dapat menerina ajaran-ajaran Maturidi. Kemudian Al-bazdawi dalam perkembangan pemikirannya, mempunyai salah seorang murid yaitu Najm Al-Din Muhammad Al-Nasafi dengan karyanya Al-‘Aqaidul Nasafiyah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi di dalam aliran Al-Maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-Asy’ary.
Namun walaupun sebagai aliran Maturidiyah, Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagian umat Islam yang bermazhab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran Maturidiyah sampai sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.
B. Pokok-Pokok Pikiran Aliran Maturidiyah
Beberapa pokok pikiran aliran Maturidiyah adalah sebagai berikut:
1. Pelaku dosa besar
Aliran Maturidiyah, baik golongan Samarkand maupun golongan Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa besar masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa bertobat dahulu, keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya kedalam neraka.
Berkaitan dengan persoalan ini, Al-Maturidi sendiri sebagai peletak dasar aliran kalam Al-Maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat. Hal ini dikarenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada menusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar tidaklah menjadikan seseorang menjadi kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi sifatnya saja.
2. Iman dan kufur
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Quran surat Al-Hujurat 14:
   •                        •    
14. orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi sebagai penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Menurut Al-Maturidi, tashdiq seperti yang dipahami diatas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq didapat dari akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260:
                                       •    
260. dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Pada surat Al-baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang mati. Permintaan tersebut, lanjut Al-Maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahin mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah.
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi qalb dan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran sebuah pokok ajaran islam secara verbal. Pendapat ini tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tasdiq sebagai unsure esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Maturidiyah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda. Al-Bazdawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. Al-Bazdawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan brfungsi sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, esensi yang digambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang. Sebaliknya, dengan kehadiran bayangan-bayangan itu, iman justru menjadi bertambah.
3. Perbuatan Tuhan
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya. Seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan amcaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand member batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban-kewajiban Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Adapun mengenai pengiriman rasul, golongan Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy’ariah. Pengiriman rasul menurut mereka, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Dalam Isyarat Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman rasul.
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran Asy’ariyah. Menurut mereka, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi Tuhan bisa saja membatalkan ancamanuntuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
4. Perbuatan Manusia
Ada perbedaan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham Mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariyah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia menurut Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan.
Maturidiyah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberi tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakuakan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.
Tuhan telah menciptakan segala sesuatu serta menetapkan ukuran-ukurannya (qadar), termasuk qadar baikburuk, namunmanusia dengan akalnya dapat memilih mana perbuatan baik dan mana yang buruk. Manusia diberi kebebasab untuk melakukan usahanya sesuai kehendaknya.
5. Sifat-sifat Tuhan
Dapat ditemukan persamaan antara al-maturidi dan alasy’ari, seperti di dalam pendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat seperti sama’, basher dan sebagainya. Walaupun begitu pengertian al-maturidi tentang sifat berbeda dengan al asy’ari. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah.
Tampaknya paham al-maturidi, tentang makna sifat cenderung mendekati paham Mu'tazilah. Perbedaannya al maturidi mengaku adanya sifat-sifat sedangkan al-Mu'tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Semantara itu, Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat. Aliran Maturidiyah Bukhara berbeda dengan Asy’ariyah. Maturidiyah Bukhara juga berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi takwil. Menurut Al-bazdawi, kata istawa haruslah dipahami dengan arti al-istila ala asy-syai’I wa al-qahr alaihi (menguasai sesuatu dan pelaksanaannya. Demikian juaga ayat yang menggmbarkan Tuhan mempunyai dua mata dan dua tangan, bukanlah Tuhan mempunyai anggota badan.
Golongan Samarkand dalam hal ini kelihatan tidak sefaham dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan.
Maturidiyah Samarkand sependapat dengan mu’tazilah dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan,muka, mata,dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.
Maturidiyah Samarkand sejalan dengan Asy-ariyah dalam hal Tuhan dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan Al-Maturidi bahwa melihat Tuhan itu merupakan hal yang pasti dan benar, tetapi tidak dapat dijelaskan bagaimana cara melihatnya. Dalil yany dijadikan pendukung Al-Maturidi dalam pendapatnya adalah ayat 103 surat Al-An’am:
          
103. Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.

Demikian pula Maturidiyah Bukhara juga sependapat bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Al-bazdawi mengatakan bahwa Tuhan kelak memperlihatkan diri-Nya untuk kita lihat dengan mata kepala, menurut apa yang Ia kehendaki.
Aliran Bukhara dan Samarkand berpendapat bahwa Al-Quran itu adalah kekal tidak diciptakan. Golongan Bukhara berpendapat, sebagaimana dijelaskan Bazdawi, Al-Quran adalah sesuatu yang berdiri dengan dzatnya, sedangkan yang tersusun dalam bentuk surat yang mempunyai akhir dan awal, jumlah dan bagian, bukanlah Al-Quran secara hakikat, tetapi disebut Al-Quran dalam pengertian kiasan.
Golongan Samarkand mengatakan bahwa Al-Quran adalah kalamullah yang bersifat kekal dari Tuhan, sifat yang berhubungan dengan dzat Tuhan dan juga Qadim. Kalamullah tidak tersusun dari huruf dan kalimat sebab huruf dan kalimat itu diciptakan.
6. Kehendak Mutlak Tuhan dan Keadilan Tuhan
Kehendak mutlak Tuhan, menurut golongan Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberi beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukuman karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Adapun golongan Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang dapat menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan. Dengan demikian, dapat diambil pengertian bahwa keadilan Tuhan terletak pada kehendak mutlak-Nya, tak ada satu dzat pun yang lebih berkuasa daripada-Nya dan tidak ada batasan-batasan bagi-Nya.
Golongan Bukhara berpendapat bahwa ketidakadilan Tuhan haruslah difahami dalam konteks dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas, Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsure pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti, bahwa alam tidak diciptakan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

























BAB III
PENUTUP

Simpulan:
1. Golongan Samarkand dan Bukhara sama-sama berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal didalam neraka walaupun ia mati sebelum bertaubat.
2. Golongan Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan dan keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Pendapat golongan Bukhara adalah mengakui kebenaran sebuah pokok ajaran islam secara verbal dan iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan.
3. Golongan Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Sedangkan golongan Bukhara berpendapat bahwa bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya.
4. Golongan Samarkand berpendapat bahwa kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Sedangkan golongan Bukhara memberi tambahan dalam masalah daya. Menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakuakan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya
5. Menurut al-maturidi sifat tidak dikatakan sebagai esensinya dan bukan pula dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulazamah (ada bersama, baca: inheren) dzat tanpa pemisah. Semantara itu, Maturidiyah Bukhara, yang juga mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat.
6. Kehendak mutlak Tuhan, menurut golongan Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Adapun golongan Bukhara berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya.



























DAFTAR PUSTAKA

Yusuf, M. Yunan, Alam Pikiran Islam; Pemikiran Kalam,Perkasa , Jakarta, 1990.
Rifai.Moh., Drs. Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam,Wicaksana, Semarang, 1988.
Nasution. Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam,Pustaka Setia, Bandung, 1998.
Anwar. Rosihon, Drs. Abdul Rozak, Ilmu Kalam, pustaka Setia, Bandung, 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar